Bukan Soal Legalisasi Seks Bebas: Dosen AKBID Prestasi Agung Buka Suara Mengenai Kontrasepsi untuk Pelajar

Bukan Soal Legalisasi Seks Bebas: Dosen AKBID Prestasi Agung Buka Suara Mengenai Kontrasepsi untuk Pelajar

Penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan telah memicu gelombang perdebatan sengit di seluruh Indonesia. Salah satu pasal yang paling kontroversial adalah yang mengatur mengenai penyediaan alat kontrasepsi untuk remaja usia sekolah.

Bagi sebagian masyarakat, aturan ini dikhawatirkan seolah-olah “melegalkan” atau bahkan “mendorong” aktivitas seksual di kalangan pelajar. Namun, dari sudut pandang institusi pendidikan yang fokus pada kesehatan reproduksi, seperti Akademi Kebidanan (AKBID) Prestasi Agung, isu ini harus dilihat secara lebih utuh, ilmiah, dan berbasis pada konteks masalah yang nyata: tingginya angka pernikahan anak dan kehamilan yang tidak direncanakan di usia remaja.

Bagaimana seorang Dosen Kebidanan, yang sehari-hari bergelut dengan isu kesehatan ibu dan anak, menyikapi polemik ini? Artikel ini akan mengupas tuntas pandangan Dosen AKBID Prestasi Agung, mengupas konteks kebijakan, dan menekankan pentingnya edukasi komprehensif sebagai kunci utama.


1. Menjernihkan Multitafsir: Kontrasepsi untuk Siapa?

Kekhawatiran utama masyarakat muncul karena frasa “remaja usia sekolah” yang berkonotasi pada remaja lajang. Padahal, para akademisi, khususnya dari bidang kebidanan, seringkali menekankan bahwa layanan kontrasepsi yang dimaksud ditujukan secara spesifik untuk kelompok remaja yang sudah menikah.

Dosen AKBID Prestasi Agung memahami betul dilema ini. Dalam konteks Indonesia, kasus Pernikahan Anak masih menjadi masalah serius, didorong oleh faktor ekonomi, budaya, atau kecelakaan. Remaja yang menikah dini berada dalam posisi yang sangat rentan:

  1. Risiko Kesehatan Tinggi: Organ reproduksi remaja, terutama di bawah usia 18 tahun, belum sepenuhnya matang, meningkatkan risiko komplikasi kehamilan dan persalinan.
  2. Kesiapan Mental dan Ekonomi: Mereka seringkali belum siap secara mental, emosional, maupun finansial untuk mengasuh anak.
  3. Peningkatan Angka Kematian Ibu (AKI): Kehamilan di usia sangat muda berkontribusi besar pada tingginya AKI.

Oleh karena itu, penyediaan alat kontrasepsi bagi pasangan yang secara legal sudah menikah namun masih berusia remaja adalah upaya preventif untuk menunda kehamilan hingga organ reproduksi dan kesiapan psikososial mereka lebih matang. Ini adalah langkah medis yang bertanggung jawab, bukan bentuk dukungan terhadap pergaulan bebas.


2. Peran Bidan: Dari Pelayanan Klinis hingga Konselor Remaja

Dalam kurikulum Akademi Kebidanan Prestasi Agung, peran Bidan tidak hanya terbatas pada pertolongan persalinan. Bidan dididik untuk menjadi pendidik dan konselor utama dalam hal kesehatan reproduksi dan Keluarga Berencana (KB).

Dosen AKBID Prestasi Agung melihat PP 28/2024 sebagai penegasan payung hukum bagi Bidan dan tenaga kesehatan untuk menjalankan tugas mereka, khususnya dalam:

A. Deteksi Dini dan Konseling Pranikah

Bidan memiliki peran krusial dalam memberikan konseling bagi calon pengantin atau pasangan remaja yang mengajukan dispensasi nikah. Dalam sesi konseling, bidan memberikan edukasi tentang risiko kehamilan dini dan menawarkan opsi penundaan kehamilan melalui kontrasepsi.

Baca Juga: Mengenal Fungsi Bidan: Dari Persiapan Hingga Persalinan, Kunci Kelancaran Ibu Melahirkan

B. Mereduksi Stigma dan Gap Informasi

Remaja sering merasa malu atau takut bertanya mengenai kesehatan reproduksi, bahkan setelah menikah. Institusi seperti AKBID melatih calon Bidan agar mampu berkomunikasi secara empatik dan non-judgmental, menciptakan lingkungan yang aman bagi remaja untuk mendapatkan informasi akurat tanpa stigma.

C. Menjaga Kualitas Generasi Mendatang

Dari perspektif kebidanan, tujuan utama penyediaan kontrasepsi bagi remaja yang sudah menikah adalah menjaga jarak kehamilan dan mempersiapkan kehamilan yang sehat. Ini adalah investasi jangka panjang untuk menciptakan generasi yang lebih sehat dan terhindar dari masalah stunting atau gizi buruk yang sering terjadi pada anak dari orang tua yang sangat muda.


3. Akar Masalah: Kontrasepsi Bukan Solusi Tunggal

Meskipun menyambut baik dukungan kebijakan terhadap pelayanan kesehatan reproduksi remaja, Dosen AKBID Prestasi Agung menyadari bahwa penyediaan alat kontrasepsi saja bukanlah jawaban tunggal.

I. Kurangnya Pendidikan Seksual Komprehensif

Kekhawatiran masyarakat bahwa kontrasepsi akan mendorong seks bebas adalah cerminan dari kegagalan sistem pendidikan kita dalam memberikan Pendidikan Kesehatan Reproduksi Komprehensif (PKRK). Selama PKRK di sekolah masih minim atau tabu, penyediaan kontrasepsi akan selalu menimbulkan salah tafsir.

Menurut pandangan akademisi kebidanan, upaya pencegahan primer harus fokus pada:

  • Penanaman Nilai Moral dan Etika: Memperkuat norma agama, sosial, dan etika keluarga.
  • Keterampilan Hidup: Mengajarkan remaja tentang assertiveness (kemampuan menolak paksaan) dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.
  • Edukasi Risiko: Memberikan pemahaman ilmiah tentang risiko Penyakit Menular Seksual (PMS) dan kehamilan tidak diinginkan.

II. Peran Krusial Keluarga dan Masyarakat

Institusi pendidikan seperti AKBID Prestasi Agung menekankan bahwa kesehatan reproduksi adalah tanggung jawab bersama. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri tanpa dukungan aktif dari orang tua dan tokoh masyarakat. Keluarga adalah benteng pertama dalam menanamkan nilai-nilai yang benar mengenai seksualitas dan reproduksi.


4. Rekomendasi Dosen AKBID Prestasi Agung: Mengintegrasikan Kebijakan dan Edukasi

Untuk meredam polemik dan memastikan PP 28/2024 berjalan efektif sesuai tujuannya, Dosen AKBID Prestasi Agung memberikan beberapa rekomendasi strategis:

A. Klarifikasi Masif dan Berkelanjutan: Pemerintah wajib melakukan sosialisasi secara masif, lugas, dan berulang bahwa target kontrasepsi adalah remaja yang sudah menikah, dengan tujuan menunda dan merencanakan kehamilan.

B. Penguatan Peran Posyandu dan Puskesmas (PKPR): Penyediaan alat kontrasepsi harus dilakukan di fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat, seperti Puskesmas yang memiliki layanan Program Kesehatan Peduli Remaja (PKPR), bukan dengan penjualan bebas di minimarket. Hal ini memastikan pelayanan selalu disertai dengan konseling oleh tenaga profesional (Bidan/Dokter).

C. Kemitraan Akbid dengan Sekolah: Akademi Kebidanan, termasuk AKBID Prestasi Agung, harus didorong untuk bekerja sama dengan sekolah-sekolah dalam menyelenggarakan program pengabdian masyarakat. Program ini harus berfokus pada edukasi promotif dan preventif—memberikan pemahaman ilmiah tentang kesehatan reproduksi, bukan sekadar mempromosikan kontrasepsi.

Penutup: Masa Depan Remaja Indonesia di Tangan Kita

Penyediaan alat kontrasepsi untuk pelajar (dalam konteks remaja menikah) adalah langkah intervensi kesehatan masyarakat yang didasari data dan bertujuan mulia: melindungi ibu muda dan calon anak dari risiko kesehatan.

Pandangan Dosen AKBID Prestasi Agung menggarisbawahi pentingnya melihat kebijakan ini bukan sebagai “lampu hijau” untuk pergaulan bebas, melainkan sebagai jaring pengaman bagi remaja yang sudah terlanjur menikah. Namun, jaring pengaman ini harus diperkuat dengan fondasi yang kokoh, yaitu Pendidikan Kesehatan Reproduksi Komprehensif di semua lini, mulai dari rumah, sekolah, hingga fasilitas kesehatan. Hanya dengan pendekatan yang utuh dan bertanggung jawab, kita dapat memastikan generasi muda Indonesia tumbuh sehat, cerdas, dan siap menghadapi masa depan.

admin
https://akbidpresagung.ac.id